Senyum Anak Indonesia Secerah Masa Depan Mereka


Yeayyyyy…… Pulang kampung… hati ini senang sekali saat ke dua orang tuaku mengajak berlibur ke kampung ibuku. Kampung yang belum pernah aku kunjungi seumur hidupku dan kini aku mempunyai kesempatan untuk pergi ke sana. Kampung mama terletak di Kabupaten Tapanuli Utara. Lebih tepatnya berada di Pahae Julu.

Pahae Julu adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara, selain Adiankoting, Garoga, Muara,Pagaran, Pahae Jae, Pangaribuan, Parmonangan, Purbatua, Siatas Barita, Siborongborong, Simangumban, Sipahutar, Sipoholon dan Tarutung. Pahae Julu berbatasan dengan Adiankoting, Pahae Jae, Pangaribuan, Siatas Barita, dan Tarutung.

Kampung persis tempat tinggal mama terletak di sebuah desa, yang mama biasa menyebutnya sebagai Desa Sigompulon. Menurutku Sigompulon terletak di sebuah tempat yang cukup terpencil, ada sawah, peternakan babi bahkan juga kebun kopi dan kokoa. Hawanya sangat menyejukkan bahkan cenderung dingin untuk orang yang tidak suka dengan cuaca dingin, penyebabnya mungkin disebabkan karena diapit dua buah pegunungan, bahkan menurutku hal itu jugalah mungkin yang menjadi penyebab komunikasi via telepon selular sangat sulit dilakukan sinyal telepon selular mungkin cukup terhalang kedua pegunungan tersebut. Beberapa rumah nampaknya juga mengandalkan parabola demi kelancaran aktivitas menonton televisi.

Hal yang cukup unik kutemukan saat di Desa Sigompulan adalah kenyataan penduduk setempat yang sudah tidak keluar rumah sejak pukul 6 (enam) sore dikarenakan gelap dan hawa dingin, juga kesukaan mereka untuk memelihara babi, daripada anjing sehingga sering kujumpai anjing-anjing yang kurus kering berbanding terbalik dengan babi yang gemuk sekali. Sewaktu kutanyakan kepada penduduk setempat penyebabnya karena babi mempunyai nilai jual sedangkan anjing tidak. Uangnya bisa digunakan untuk penduduk setempat bertahan hidup selain dari hasil bersawah atau berkebun kopi atau kokoa yang tidak terlalu mempunyai nilai jual.

Posisi Desa Sigompulan yang jauh dari ibukota kabupaten mungkin sebagai penyebabnya, ditambah lagi tidak ada transportasi umum yang memudahkan penduduk beraktivitas sehari-hari. Anak sekolah yang nampak pun banyak terlihat berjalan kaki saja, kadang pula kulihat ada anak sekolah yang tidak memakai sepatu atau yang memakai celana yang reslestingnya hanya digantikan dengan peniti saja, entah lah apa karena tidak ada penjahit, atau susah untuk membeli celana yang baru aku tidak menemukan alasan yang pasti. Bahkan saat hujan pun jarang kutemukan payung, hanya pelepah daun pisah yang diandalkan juga mereka lebih memilih menenteng sepatu mereka daripada memakainya, supaya tidak basah mungkin.

Yah…begitulah hasil pengamatan aku selama 3 (tiga) hari di kampung mama.

Hingga keesokan harinya…….

Sambil menikmati pemandangan alam, baik sawah yang menguning, pohon durian yang sedang berbuah, juga ada kokoa-kokoa yang sudah berjatuhan di tanah untuk memanggil para peladang untuk datang memungut, saya menyaksikan beberapa anak kecil sedang bermain.

Setelah asik menonton mereka, gantian mereka yang memandang saya ‘aneh’ karena saya terlihat berbeda dengan mereka, mungkin dari penampilan saya menunjukkan bahwa saya bukan berasal dari desa itu. Secara tiba-tiba mereka beramai-ramai mengerubungi saya. Saya cukup kaget dengan serangan yang bisa dibilang tiba-tiba itu. Rupanya mereka terkesima akan satu hal dan meminta saya melakukan sesuatu pada mereka.

Astaga………Ternyata mereka meminta saya mengambil gambar mereka…

Suatu permintaan yang sangat sederhana namun sangat penuh antusias dan euforia yang tak terbendung. Saat saya tanya mengapa mereka seperti itu, dikatakan mereka sangat jarang sekali di foto atau mungkin hampir tidak pernah. Astaga… yaaa saya sangat maklum karena menurut saya desa ini sangat terpencil. Jangankan foto kamera yang jenis digital kamera telepon pintar yang ada kameranya ataupun telepon biasa yang ada kameranya sangat jarang dimiliki penduduk setempat.

Berikut foto-foto mereka:

This slideshow requires JavaScript.

Sambil melakukan ‘sesi foto’ dengan anak-anak tersebut saya bertanya pertanyaan sederhana, “apakah cita-citamu?”

Sebagian ada yang bilang ingin menjadi polisi, tentara, dokter, guru, perawat, bahkan ada juga yang bilang ingin jadi artis terkenal seperti yang ada di televisi. Namun ada seorang anak yang menjawab cita-citanya ingin menjadi jagoan. Saya cuma bisa tersenyum mendengar jawaban polos dari anak-anak tersebut.

Sebelum pulang saya sempat mengajukan pertanyaan mendasar tentang negara Indonesia. Ketika ditanya apakah dasar negara Indonesia, mereka berapi-api mereka menjawab PANCASILA. Kemudian saya melanjutkan apa lambang negara Indonesia, beberapa diantara mereka ada yang menjawab Garuda dan sebagian ada yang menjawab dengan maksud melengkapi yaaa… GARUDA PANCASILA — dengan suara nyaring sambil mengacungkan jari telunjuk menyerong ke atas — tindakan mereka ini membuat saya terharu.. Saya menafsirkannya seperti memancarkan semangat patriotisme. Lanjut dengan pertanyaan berikutnya tentang warna bendera Indonesia, dengan satu suara mereka berteriak MERAH PUTIH.

Dan kemudian…..

Pertanyaan selanjutnya menyambung jawaban MERAH PUTIH, saya balik bertanya, apa arti yang terkandung dalam MERAH PUTIH ? Anak-anak pun hanya terdiam dan saling berpandangan dan sedikit bingung. Cukup lama terdiam akhirnya saya kembali merespon dengan pertanyaan, apakah ada yang tahu arti MERAH PUTIH bendera Indonesia? Coba ingat-ingat… apa yang diajari guru di sekolah, ada yang tahu tidak? Karena mereka sudah menjawab kompak dengan jawaban tidak tahu, akhirnya saya berhenti bertanya dan menjelaskan kepada mereka bahwa MERAH artinya BERANI dan PUTIH artinya suci. Saya coba tanya lagi kepada anak-anak tersebut jadi…. MERAH PUTIH artinya apa??? Kompak dan lugas mereka berseru dengan suara nyaring MERAH artinya BERANI dan PUTIH artinya suci.

Usai anak-anak menjawab dengan jawaban tersebut saya katakan: “Cukup sampai di sini dulu yaa, besok kita kumpul di sini lagi dan kalian semua wajib membawa buku kalian di sekolah dan kita mengerjakan PR sekolah kalian bersama-sama … kakak mau pulang dulu,” kataku dan berakhirlah kegiatan kami saat itu.

Esoknya mereka kembali dan kita mengerjakan PR mereka semua bersama-sama hingga 3 (hari) berikutnya karena hari keempat pertemuan kami, aku harus pamit dan mengakhiri liburanku bersama mereka. Tiga hari mengerjakan PR bersama serasa menjadi guru wali kelas sungguhan dan menjadi pengalaman liburan yang tak terlupakan saat aku ke kampung mama.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta saya berpikir tentang pertanyaan sederhana yang hampir tak mampu mereka jawab waktu pertama kali aku berjumpa mereka. Akankah dibiarkan begitu saja ketidaktahuan anak-anak Indonesia? Melihat senyum dan antusias mereka akan masa depan akankah kita diam saja dan tidak peduli. Mereka membutuhkan pengetahuan dan kiranya kita adalah orang-orang yang peduli dan mau mewujudkan cita-cita mereka sehingga senyum anak Indonesia secerah masa depan mereka.

Dengan cinta,

kei

5 Responses to “Senyum Anak Indonesia Secerah Masa Depan Mereka”

  1. tarutung apa masuk ke daftar dolok sigumpulon??

    Like

  2. […] Disalin ulang sebagaimana hasil postingan di Senyum Anak Indonesia Secerah Masa Depan Mereka […]

    Like

  3. saya adalah salah satu murid yang ditempa di pedalaman Tarutung. Pertama kali saya meninggalkan tarutung merantau ke jawa tengah tampak kesenjangan fasilitas pendidikan antara jawa dan sumatera. Namun saya tau, kita pemuda batak, emas murni yang tak akan pudar meskipun ditempatkan di kubangan lumpur.

    Like

Leave a comment